Stroke masih menjadi salah satu penyebab kematian dan kecacatan tertinggi di dunia, termasuk di Indonesia. Sayangnya, tingginya angka kejadian stroke masih diiringi dengan beredarnya berbagai mitos penyakit stroke di masyarakat. Informasi keliru ini dapat menyebabkan keterlambatan penanganan, kesalahan dalam pencegahan, hingga penolakan terapi medis yang seharusnya dijalani.
Oleh karena itu, penting untuk memahami fakta medis tentang stroke agar penanganan dan pencegahan dapat dilakukan secara tepat.
Kenali Mitos dan Fakta Seputar Penyakit Stroke
Mitos 1: Stroke Hanya Terjadi pada Orang Tua
Fakta: Stroke dapat terjadi pada semua usia.
Banyak orang masih beranggapan bahwa stroke hanya menyerang lansia. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian stroke pada usia produktif bahkan usia muda terus meningkat.
Gaya hidup tidak sehat seperti merokok, konsumsi alkohol berlebihan, kurang aktivitas fisik, pola makan tinggi lemak dan gula, serta stres kronis berperan besar dalam meningkatkan risiko stroke pada usia muda. Selain itu, kondisi medis seperti hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, dan gangguan pembekuan darah juga dapat menjadi faktor risiko, tanpa memandang usia.
Mitos 2: Stroke Terjadi Secara Tiba-Tiba Tanpa Tanda
Fakta: Stroke sering didahului oleh gejala peringatan.
Meskipun stroke tampak terjadi mendadak, sebenarnya banyak pasien mengalami tanda peringatan sebelumnya, seperti serangan iskemik sementara (Transient Ischemic Attack/TIA).
Gejala TIA meliputi kelemahan satu sisi tubuh, bicara pelo, gangguan penglihatan, atau mati rasa yang berlangsung singkat dan membaik sendiri. Sayangnya, keluhan ini sering diabaikan karena dianggap kelelahan atau masuk angin. Padahal, TIA merupakan “alarm” penting bahwa stroke besar dapat terjadi jika tidak segera ditangani.
Mitos 3: Stroke Tidak Bisa Dicegah
Fakta: Sebagian besar kasus stroke dapat dicegah.
Mitos ini membuat banyak orang bersikap pasrah dan kurang peduli terhadap faktor risiko. Faktanya, sekitar 80% stroke dapat dicegah dengan pengendalian faktor risiko yang baik.
Mengontrol tekanan darah, menjaga kadar gula dan kolesterol, berhenti merokok, membatasi konsumsi garam dan lemak jenuh, rutin berolahraga, serta menjaga berat badan ideal terbukti menurunkan risiko stroke secara signifikan. Deteksi dini dan pengobatan penyakit penyerta juga memegang peranan penting dalam pencegahan stroke.
Mitos 4: Jika Gejala Stroke Membaik, Tidak Perlu ke Rumah Sakit
Fakta: Gejala stroke yang membaik tetap membutuhkan evaluasi medis.
Sebagian masyarakat percaya bahwa jika keluhan seperti mulut mencong atau lengan lemas membaik dalam beberapa jam, maka tidak perlu memeriksakan diri. Anggapan ini sangat berbahaya.
Perbaikan gejala tidak menyingkirkan risiko stroke berulang yang bisa lebih berat. Evaluasi medis diperlukan untuk memastikan penyebab, menentukan terapi, dan mencegah komplikasi lanjutan. Penanganan stroke sangat bergantung pada waktu, karena terapi tertentu hanya efektif bila diberikan dalam “golden period”.
Mitos 5: Stroke Selalu Berujung Kematian atau Cacat Permanen
Fakta: Banyak pasien stroke dapat pulih dengan baik.
Tidak semua stroke berakhir dengan kematian atau kecacatan permanen. Dengan penanganan cepat, tepat, dan komprehensif, banyak pasien stroke dapat kembali beraktivitas secara mandiri.
Rehabilitasi medis, seperti fisioterapi, terapi wicara, dan terapi okupasi, berperan besar dalam pemulihan fungsi. Kunci utama keberhasilan adalah deteksi dini, pengobatan segera, serta kepatuhan pasien terhadap program rehabilitasi dan terapi jangka panjang.
Mitos 6: Stroke Tidak Bisa Kambuh
Fakta: Stroke sangat mungkin terjadi berulang.
Pasien yang pernah mengalami stroke memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami stroke berulang. Risiko ini meningkat apabila faktor pencetus tidak dikendalikan dengan baik.
Ketidakpatuhan minum obat, gaya hidup tidak sehat, serta kontrol penyakit kronis yang buruk menjadi penyebab utama kekambuhan. Oleh karena itu, edukasi pasien mengenai pentingnya terapi jangka panjang dan perubahan gaya hidup sangatlah krusial.
Mitos 7: Pengobatan Alternatif Lebih Aman daripada Obat Medis
Fakta: Pengobatan stroke harus berbasis bukti ilmiah.
Tidak sedikit pasien yang memilih pengobatan alternatif dan menunda terapi medis karena takut efek samping obat. Padahal, pengobatan stroke yang efektif harus didasarkan pada bukti ilmiah dan pengawasan tenaga kesehatan.
Penggunaan terapi non-medis tanpa konsultasi dapat memperburuk kondisi pasien dan meningkatkan risiko komplikasi. Pengobatan alternatif hanya boleh bersifat komplementer, bukan menggantikan terapi medis utama.
Pentingnya Edukasi untuk Pencegahan Stroke
Mitos-mitos seputar penyakit stroke masih banyak dipercaya dan dapat berdampak serius terhadap keselamatan pasien. Sebagai tenaga kesehatan, khususnya dokter spesialis, kita memiliki peran penting dalam meluruskan informasi yang keliru melalui edukasi yang berkelanjutan.
Dengan pemahaman yang benar, masyarakat diharapkan lebih waspada terhadap gejala stroke, tidak menunda penanganan, serta lebih aktif dalam melakukan pencegahan. Stroke bukanlah penyakit yang harus ditakuti secara berlebihan, tetapi harus dipahami dengan benar agar dapat dicegah dan ditangani secara optimal.
Artikel ditulis oleh dr. Dwi Hany Febrina S, Sp.N (Spesialis Neurologi / Saraf RS EMC Cikarang).