Akhir-akhir ini kesehatan mental menjadi topik yang hangat dibicarakan. Banyak tagar-tagar seperti “mental health awareness, depression, anxiety, self-healing, self-love, dan sebagainya” muncul di sosial media kita. Tidak jarang juga beberapa artis dan selebgram turut menggaungkan pentingnya menjaga kesehatan mental. Namun, memang masih ada penderita gangguan mental yang merasa malu menceritakan kondisinya karena takut mendapat stigma negatif dari masyarakat. Ditambah lagi, masih banyak orang, termasuk keluarga dekat kita sendiri yang suka menjudge penderita gangguan mental sebagai kurang beriman atau kurang beribadah. Hal ini yang masih merupakan tantangan para psikiater, psikolog, ataupun para edukator dan media untuk terus memberikan edukasi terkait kesehatan mental sehingga pengetahuan masyarakat kita meningkat.
Gangguan mental bisa terjadi pada siapa saja, mengenai berbagai kalangan, tidak peduli kaya atau miskin, cantik atau jelek, pendidikan tinggi atau rendah. Hal ini karena gangguan mental disebabkan karena interaksi dari faktor genetik dan lingkungan, sama halnya dengan penyakit kanker, hiperkolesterol, ataupun darah tinggi yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.
*Sumber : InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI
Menurut hasil Riskesdas 2018, gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15-24 tahun), dengan prevalensi sebesar 6,2%. Pola prevalensi depresi juga semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia, tertinggi pada usia 75 tahun keatas sebesar 8,9%. Hal ini dapat dibandingkan dengan penyakit-penyakit lain, seperti kencing manis (diabetes) di Indonesia sebesar 6,2%, TBC 0,42%, kanker 1,79‰, hipertensi 34,1%, dan penyakit jantung 1,5%.
Faktor lingkungan yang dapat mencetuskan gangguan mental dapat berupa trauma yang dialami pada masa kanak, bullying, bencana alam, atau kematian anggota keluarga. Trauma yang dialami masa kanak misalnya pola asuh orang tua yang penuh dengan kekerasan (abuse), pelecehan seksual, pengabaian (neglect), penyalahgunaan napza dalam keluarga, perceraian orang tua, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika mengalami hal-hal tersebut sebagai anak, anak belum bisa memproses kejadian tersebut sehingga luka yang ditimbulkan akibat trauma tersebut masih terus ada sampai dewasa. Apabila luka tersebut tidak disembuhkan, maka ketika ada suatu stressor di masa depan, maka orang tersebut akan lebih mudah mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, panik, sulit tidur, ketakutan, rendah diri, menggunakan napza, ataupun menyakiti orang lain.
Oleh karena itu, perlu sekali untuk kita menyembuhkan luka tersebut, yang sekarang ini dikenal dengan istilah “Healing”. Healing dapat dibantu oleh tenaga profesional seperti psikiater ataupun dilakukan sendiri yang dikenal dengan istilah “Self-healing”. Nah, berikut tips-tips yang dapat dilakukan untuk melakukan Self-healing :
- Self-Care
Kita tetap perlu untuk merawat kesehatan mental kita. Jangan sampai kita terlalu sibuk memikirkan orang lain, namun lupa memikirkan diri kita sendiri. Lakukanlah hal-hal yang baik untuk kesehatan mental kita seperti melakukan hobby kita, berolahraga minimal 15-30 menit setiap hari, tidur yang cukup, banyak minum air, makan makanan yang sehat, ngobrol dengan teman, jalan-jalan menikmati alam, berdoa, bermeditasi, dan hal-hal lain yang kita sukai.
- Self-Awareness
Ketika kita merasakan sesuatu yang tidak nyaman pada diri kita, apakah itu perasaan sedih, takut, cemas atau marah, cobalah pahami dan rasakan apa yang sebenarnya sedang kita pikirkan dan rasakan. Cobalah untuk fokus pada “saat ini” dan tidak menghakimi perasaan tersebut. Perasaan tersebut tidaklah baik atau jahat, perasaan hanyalah sebuah perasaan, sebuah emosi. Cobalah tanyakan pada diri sendiri dan pahami tentang apa yang sebenarnya diinginkan dan dirasakan saat ini. Satu-satunya orang yang mampu berbicara dengan lubuk hati terdalam adalah diri sendiri.
- Self-Forgiveness
Seperti keterangan sebelumnya, mungkin kita pernah mengalami peristiwa yang menyakitkan atau trauma di masa lalu. Kadang kita menjadi marah, takut ataupun menyesali mengapa kejadian tersebut pernah terjadi. Lalu kita mulai merenung seandainya peristiwa tersebut tidak pernah terjadi atau kita dapat melakukan sesuatu untuk mengubah peristiwa di masa lalu tersebut. Namun, apakah kalian tahu bahwa seseorang yang sulit memaafkan orang lain akan merasa sakit, baik secara fisik maupun emosional? Maafkanlah hal-hal yang pernah terjadi demi diri kita sendiri. Maafkan orang tuamu, maafkan semua hubungan yang pernah berjalan tidak baik, maafkan orang yang pernah menyakitimu, Maafkan DIRIMU. Memaafkan artinya melepaskan harapan bahwa masa lalu dapat berubah. Memaafkan juga berarti MENERIMA bahwa sesuatu telah terjadi pada kita, Bukan menerima bahwa hal tersebut OK, namun menerima karena hal itu TELAH terjadi. Ketika kita memahami hal ini, kita akan naik level menjadi pribadi manusia yang lebih baik, karena kita tidak menyimpan dendam pada hal apapun, pada situasi apapun, sehingga masa lalu tidak memenjarakan, tidak menyandera kita. Jadikanlah sebuah penyesalan di dalam hidup kita ini sebagai pelajaran. Bicaralah pada diri sendiri bahwa melakukan kesalahan itu wajar. Yang perlu dilakukan hanyalah belajar untuk tidak mengulanginya. Let it go dan mulai berfokuslah untuk mengembangkan diri kita. Move On So You Can Grow.
- Self-Compassion
Bersikap lembutlah pada diri sendiri. Kadang kita menjadi pengkritik yang paling keras untuk diri kita sendiri. Terkadang, kita sendiri yang tidak membolehkan diri kita merasa puas. Kita sendiri yang tidak membolehkan diri kita menerima pujian. Kita tidak merasa nyaman saat diri kita merasa tenang dan damai dalam waktu yang cukup lama. Sadarilah, bahwa hidup kita ini berharga, sehingga kita juga perlu untuk mengusahakan perasaan puas terhadap pencapaian kita. Kalo kita lebih dapat menghargai diri kita, merasa puas akan pencapaian kita, maka kita akan dapat bekerja dengan lebih baik lagi. Bila kita tidak pernah memberi pujian untuk diri kita, selalu menyalahkan diri, selalu merasa tidak sempurna, maka kita akan merasa burnout dan berhenti dari apa yang kita lakukan. Ambilah kebahagiaan pada saat ini, nikmatilah apa yang kita sedang kerjakan, dan biarkan diri kita merasakan kebahagiaan dan kepuasan.
Ingatlah, kita adalah orang yang bertanggung jawab akan hidup kita. Kita tidak bisa menunggu seseorang untuk menyembuhkan luka kita. Hanya kita yang punya kekuatan untuk bertanggung jawab dalam menyembuhkan luka tersebut. Masa lalu hadir di masa kini bukan untuk disesali, namun untuk dimaknai. Memaknai kembali pengalaman masa lalu dengan respon yang positif akan membantu penyembuhan luka kita. Jadikan pengalaman tersebut sebagai bagian dari perjalanan hidup kita.
Ada kalanya, tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan self-healing. Apabila sudah dicoba cara-cara di atas, namun masih memiliki gangguan dalam fungsi, seperti gangguan dalam fungsi pekerjaan, tidur, makan, berelasi dengan orang lain, sulit konsentrasi, stres, adiksi, panik atau kondisi lainnya, maka carilah bantuan profesional seperti psikiater. Psikiater akan menilai apakah seseorang memerlukan bantuan obat atau cukup dengan psikoterapi. Self-healing dan berkonsultasi kepada ahli juga bisa berjalan beriringan. Dengan proses terapi yang dilakukan secara holistik, maka kemungkinan untuk menyembuhkan luka kita semakin baik. Akhir kata, semoga kita semua dapat mengobati luka hati kita dan memiliki jiwa yang sehat ya.
Artikel ditulis oleh dr. William Surya Atmadja, Sp.KJ (Spesialis Kedokteran Jiwa RS EMC Pulomas).