Penyakit Pembesaran Prostat Jinak

Prostat adalah suatu organ kelamin pada pria berupa kelenjar yang terletak dibawah kantung kencing.  Besarnya kira-kira sebesar buah kenari dan beratnya pada laki-laki normal lebih kurang 20 gram.  Fungsi kelenjar prostat sendiri adalah sebagai penghasil cairan semen (air mani).

Pembesaran prostat jinak (PPJ) atau sering disebut Benign Prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu pembesaran jinak dari kelenjar prostat yang diderita oleh laki-laki usia lanjut. Dari hasil beberapa penelitian di Amerika, angka kejadian PPJ meningkat dengan bertambahnya umur.   Berdasarkan hasil autopsi, penderita PPJ adalah 20% terjadi pada usia 41-50 tahun, 50% pada usia 51-60 tahun dan lebih dari 90% pada usia 80 tahun.  Sedangkan di Indonesia belum ada angka kejadian yang pasti.

Faktor resiko pada pembesaran prostat jinak hingga saat ini masih belum dapat dipastikan.  Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor usia, genetik, ras, lingkungan dan merokok merupakan faktor resiko PPJ.

Penyebab pembesaran prostat jinak hingga saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti. Secara umum terdapat 2 faktor utama yaitu bertambahnya usia dan berfungsinya sel leydig pada testis sebagai penghasil hormon androgen utama.  Dalam patogenesis terjadinya PPJ, reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) di dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein.  Beberapa penelitian pada hewan menunjukkan bahwa estrogen berperan pada permulaan proses PPJ.  Estrogen ini berasal dari perubahan testosteron menjadi estrogen dengan bantuan katalisator enzim aromatase yang dapat terjadi pada jaringan lemak.  Pendapat lain yang dikemukakan adalah teori growth factors yang menyatakan bahwa adanya ekspresi berlebihan dari fibroblast growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan konsentrasi b-FGF ini lebih besar ditemukan pada penderita pembesaran prostat jinak dibandingkan orang normal karena bertambahnya umur.  Mikrotrauma berulang karena miksi, ejakulasi atau infeksi dapat menyebabkan terbebasnya b-FGF, dan sifat stimulasi proliferasi b-FGF lebih besar daripada hambatan oleh Transfering growth factor b (TGF-b).

Gangguan yang terjadi pada PPJ adalah sumbatan dan iritasi saluran kencing bagian bawah.  Terjadinya gejala sumbatan ini dapat disebabkan 2 komponen, pertama oleh penekanan yang bersifat menetap terhadap urethra pars prostatika (komponen statik) dan kedua karena komponen dinamik yang disebabkan peningkatan tonus kelenjar prostat yang diatur sistem saraf otonom. Reseptor yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot polos prostat adalah a-1 adrenoreceptor (a-1-a) yang terdapat dalam jumlah besar pada prostat dan leher buli-buli.  Pengaktifan reseptor ini akan menstimulasi terjadinya kontraksi otot polos sehingga akan menaikkan tonus prostat dan leher buli-buli sehingga mengakibatkan meningginya tekanan dan resistensi uretra, dimana selanjutnya akan menyebabkan terjadinya sumbatan aliran urin.  Untuk mengatasi resistensi uretra yang meningkat ini, mula-mula otot detrusor mengalami kompensasi dengan terjadinya hipertropi otot detrusor buli yang kemudian jika sumbatan berlangsung terus maka buli-buli akan masuk ke dalam fase dekompensasi, ditandai dengan gagalnya buli-buli untuk mengeluarkan urin.  Tekanan yang tinggi pada muara ureter mengakibatkan terjadinya aliran balik urin (refluks) dari buli ke dalam ureter yang jika berlangsung terus menerus mengakibatkan melebarnya ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) bahkan akhirnya dapat jatuh dalam keadaan gagal ginjal.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang menonjol pada PPJ adalah sumbatan saluran kencing bagian bawah atau sering disebut Lower urinary tract symptoms (LUTS). Gejala-gejala ini dibedakan menjadi gejala sumbatan (obstruktif) yaitu: pancaran urin melemah, rasa belum lampias sehabis buang air kecil, harus menunggu lama sewaktu mau kencing, buang air kecil harus mengedan, dan buang air kecil terputus-putus.

Sementara itu gejala iritatif adalah: Sering kencing, kencing malam hari lebih dari 2 kali, dan kencing sukar ditahan.

DIAGNOSIS

Gejala obstruktif dan iritatif yang dialami penderita biasanya disusun dalam bentuk skor. Saat ini sistem skoring yang sering digunakan adalah menurut International Prostate Scoring System (IPSS). 

Pemeriksaan fisik yang terpenting adalah pemeriksaan colok dubur yang dikenal dengan rectal toucher atau digital rectal examination untuk menilai pembesaran atau penonjolan prostat, konsistensi prostat yang pada PPJ teraba kenyal sedangkan jika ada nodul atau bagian keras hal ini merupakan tanda keganasan prostat. Nyeri tekan merupakan tanda adanya infeksi pada prostat (prostatitis).

Pada pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa adalah darah dan urin serta prostate specific antigen (PSA) untuk mendeteksi adanya kanker prostat.

Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dilakukan adalah mengukur pancaran urin maksimal dengan alat uroflowmetry, sedangkan pengukuran sisa urin yang tertinggal dalam buli-buli dapat diukur dengan memasang kateter sehabis miksi atau dengan menggunakan USG transabdominal. 

Volume prostat (dalam satuan cc) dapat diukur dengan menggunakan Trans Rectal UltraSonography (TRUS), selain itu TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya daerah hypoechoic, dan jika dicurigai adanya keganasan dapat langsung dilakukan biopsi prostat dengan jarum.  Pemeriksaan Transabdominal Ultra Sonography selain dapat memeriksa prostat dalam keadaan buli-buli penuh, juga dapat mendeteksi adanya batu dalam vesika dan mendeteksi bagian prostat yang menonjol ke buli-buli untuk meramalkan beratnya sumbatan. Kadang-kadang diperlukan pula pemeriksaan radiologis lainnya bila ditemukan adanya kencing berdarah (hematuria), infeksi saluran kemih, batu saluran kemih atau penurunan fungsi ginjal.

PENATALAKSANAAN

Biasanya penderita akan mencari pertolongan jika sudah merasa terganggu dengan keluhan berkemih atau bahkan sudah tidak dapat kencing sama sekali yang mana hal ini sebetulnya sudah terlambat. 

Pilihan pengobatan menunggu (watchfull waiting) dilakukan dengan observasi secara berkala setiap tiga bulan, pengobatan ini hanya dilakukan pada penderita dengan keluhan yang sangat ringan. Nasehat yang diberikan ialah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi kencing pada malam hari, menghindarkan obat-obat flu seperti dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan melarang minum alkohol agar tidak terlalu sering kencing.  Penderita dianjurkan untuk dikontrol keluhan (score system), uroflowmetry, USG setiap tiga bulan, dan jika terjadi perburukan sebaiknya mulai dilakukan pengobatan dengan atau tanpa operasi.

Ada 3 macam pengobatan dengan obat-obat yang dianggap rasional yaitu dengan penghambat adrenergik a, penghambat enzym 5 a reduktase dan phytoterapy.  Masalah pengobatan dengan obat-obat ini adalah kapan sebaiknya pengobatan dimulai dan untuk berapa lama pengobatan diberikan, selain itu efek samping dari obat-obat itu sendiri serta harga obat yang belum terjangkau untuk negara berkembang seperti Indonesia mengingat pengobatan yang diberikan adalah untuk jangka panjang.

Pengobatan operatif untuk PPJ biasanya ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi jaringan prostat yang menyumbat.  Cara terapi operasi yang dikenal dan sering dilakukan di Indonesia adalah dengan cara operasi terbuka (open prostatectomy) yang saat ini sudah mulai ditinggalkan atau dengan cara endoskopi yang sering disebut denganTrans Urethral Resection of the Prostate (TUR-P).

Artikel ditulis oleh dr. Johan R. Wibowo, Sp.U (Spesialis Bedah Urologi RS EMC Pulomas).