Hindari Toxic Positivity Agar Kesehatan Mental Tetap Terjaga

Kesehatan mental merupakan aspek kesehatan manusia yang perlu dirawat dengan baik. Apabila kesehatan mental kurang mendapat perhatian, maka dapat timbul sejumlah kondisi mental yang tidak sehat, bahkan mengganggu keseharian. Kesehatan mental yang terganggu dapat memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku orang yang mengalaminya. Banyak hal yang berperan dalam terjadinya gangguan mental, salah satunya adalah kecenderungan yang disebut toxic positivity.

Apa itu Toxic Positivity?

Toxic positivity sebenarnya bukanlah suatu diagnosis atau gangguan mental, namun merupakan sebuah istilah awam yang cukup populer yang digunakan untuk menggambarkan fenomena ketika seseorang memberikan semangat atau hiburan dengan cara yang salah, entah terlalu berlebihan (eksesif) atau tidak pada tempatnya. Hal tersebut seringkali justru akan menimbulkan dampak yang buruk bagi penerimanya.

Apa yang membuat seseorang melakukan toxic positivity?

Tidak ada karakteristik khusus pada orang-orang yang melakukan toxic positivity. Namun, ada beberapa hal yang mungkin menjadi faktor pendukung seseorang melakukan toxic positivity. Misalnya, kurang mampu mengenali perasaannya sendiri dan kurang memiliki keterampilan berempati terhadap orang lain. Hal tersebut dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah pengaruh dari pola asuh atau budaya.

Bagaimana cara untuk menghindari sikap toxic positivity terhadap orang lain?

Untuk menghindari toxic positivity, dapat dilakukan cara di bawah ini:

  • Mendengarkan dengan seksama orang yang sedang mencurahkan isi hatinya kepada kita
  • Memastikan orang tersebut nyaman untuk bercerita dengan kita
  • TIdak menyela orang yang sedang bercerita
  • Menunjukkan keingintahuan serta kepedulian kita
  • Sebelum memberikan nasihat, sebaiknya menilai terlebih dahulu apakah orang tersebut membutuhkan nasihat atau hanya butuh untuk didengarkan.

Bagaimana cara agar tidak mendapatkan toxic positivity?

Cara agar kita dapat terhindar dari toxic positivity adalah dengan cara pintar memilih orang yang akan dijadikan tempat untuk bercerita. Setiap orang memiliki karakter serta kondisi yang berbeda-beda, sehingga hal tersebut akan memengaruhi bagaimana seseorang memberikan respon. Selain itu, sebaiknya kita juga memiliki lebih dari satu mekanisme koping, agar dapat menjadi cara pengganti apabila cara yang satu dinilai kurang efektif.

Apa dampak negatif dari toxic positivity?

Sejumlah dampak negatif toxic positivity pada orang yang melakukannya yaitu:

  1. Pihak yang melakukan akan semakin sulit untuk berempati terhadap sesama. Apabila seseorang melakukan toxic positivity artinya ia enggan untuk mengenali masalah orang lain dan berempati kepadanya
  2. Pihak yang melakukan akan mengalami kesulitan dalam memberikan pemecahan masalah yang tepat. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masalah yang ada tidak lebih dulu didengarkan dan dipahami.

Sementara itu, toxic positivity juga tentu saja dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan mental seseorang yang menerimanya. Dampak negatif tersebut antara lain:

  1. Merasa tidak didengarkan dan dihargai
  2. Merasa diri terisolasi dan tidak memiliki siapapun yang mau memahami
  3. Toxic positivity juga dapat membuat seseorang mempertanyakan dirinya sendiri, sehingga orang tersebut cenderung menjadi mudah insecure

Toxic positivity berbahaya bagi kesehatan mental seseorang yang terus menerus mendapatkannya. Hal tersebut dapat memicu gangguan mental yang lebih serius. Maka dari itu, sebaiknya kita menghindari perilaku Toxic Positivity dengan cara mengontrol dengan bijak apa yang kita rasakan, pikirkan, dan ucapkan ketika seseorang menceritakan mengenai masalahnya kepada kita, sehingga orang tersebut akan merasa didengarkan dan dihargai.

Apabila Anda mengalami masalah kesehatan mental yang cukup serius, sebaiknya ditangani oleh bantuan yang lebih professional. Anda dapat mengunjungi dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) atau psikolog di Rumah Sakit EMC agar masalah kesehatan mental dapat diatasi dengan baik.

Artikel ditulis oleh dr. Anna Elissa, Sp.KJ (Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa (Psikiater) RS EMC Sentul).