Meski dampak yang ditimbulkan dapat dikatakan tidak fatal, berbagai mitos mengenai penyakit Bell's Palsy dapat menyebabkan kesalahan penanganan. Padahal bell’s palsy dapat disembuhkan tanpa meninggalkan bekas jika sejak awal ditangani dengan baik.
Mungkin Anda pernah melihat wajah seseorang yang mencong pada satu sisi (otot pada satu sisi wajah terlihat mengendur). Banyak yang mengaitkan kondisi tersebut dengan stroke, padahal sebenarnya pelemahan sebagian otot pada wajah ini adalah bell’s palsy.
Menurut dr. Dwi Hanny Febrina, Sp.S – dokter Spesialis Saraf RS EMC Cikarang, bell’s palsy adalah kelumpuhan atau kelemahan dari saraf spasialis (wajah) perifer yang terjadi secara akut (mendadak) dan mengenai salah satu sisi wajah. “Gangguan pada bell’s palsy terjadi pada saraf yang terjadi di belakang telinga yang berhubungan dengan bagian wajah, sehingga gangguan pada bagian ini berpengaruh pada wajah,” ujar dr. Dwi.
Ada beberapa hal yang menjadi tanda seseorang menderita bell’s palsy, seperti wajah mencong, mulut yang tidak dapat rapat sempurna saat berkumur, dan salah satu kelopak mata yang terlambat menutup sehingga membuat mata terasa perih. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, pria atau wanita, usia muda ataupun lanjut. “Secara teori penyakit ini diderita oleh orang yang berusia 15-45 tahun, tapi pada kenyataannya ada juga kasus yang diderita oleh anak usia 8 tahun,” ungkap dr. Dwi.
Di masyarakat, beredar rumor bahwa bell’s palsy disebabkan oleh terpaan angin atau cuaca dingin. “Kalau memang karena angin, semua tukang ojek mungkin wajahnya sudah mencong,” bantah dr. Dwi. Begitu pula dengan cuaca dingin, karena belum ada penelitian medis yang membuktikan tingkat penderita bell’s palsy di daerah dengan suhu dingin lebih tinggi dibanding daerah lain.
Lebih lanjut, dr. Dwi mengungkapkan bahwa sampai saat ini penyebab bell’s palsy masih belum diketahui dengan pasti (idiopathic). Hanya saja, ada lima teori yang berkembang mengenai penyebabnya: gangguan pembuluh darah, virus, genetik (herediter), imunologi (kekebalan tubuh), dan bakteri. virus menjadi kemungkinan yang paling menonjol meski belum bisa dipastikan secara medis.
Karena penyebabnya belum diketahui secara pasti, proses terjadinya serangan pun belum dapat diketahui. Hanya saja, akibat dari serangan dapat diketahui. Peradangan (pembengkakan) di saraf fasialis mengakibatkan gangguan pada telinga dan lainnya. Bahkan ada yang sampai mengganggu indera pengecapan, pendengaran, dan lainnya.
Meski dapat menyebabkan gangguan pada beberapa fungsi organ, 80-90% penderita bell’s palsy dapat pulih dengan sempurna dalam 6 bulan –dengan gejala perbai- kan mulai terlihat dalam 3 bulan. “Tetapi, jika dalam tiga minggu terapi tidak menunjukkan perubahan baik, bah- kan cenderung lebih berat, mungkin diperlukan penangan yang lain dan dilakukan pemeriksaan tambahan seperti MRI atau lainnya,” papar dr. Dwi menambahkan adanya kemungkinan 5% penyakit ini meninggalkan bekas pada pasien.
Ada pula yang menyebut bell’s palsy adalah penyakit yang selflimited, bisa sembuh dengan sendirinya. Menanggapi hal ini, dr. Dwi menyebut kemungkinan kaitan dengan teori penyakit ini disebabkan virus, walau dengan penekanan selflimited mungkin saja terjadi pada serangan yang ringan. Pasalnya, pada serangan yang berat dan dibiarkan cukup lama, pembengkakan dapat menimbulkan keru- sakan permanen pada saraf. “Karenanya, proses penyembuhan tergantung pada penanganan di awal serangan.” Sebagai penutup, dr. Dwi menjelaskan penanganan pertama bell’s palsy dapat dilakukan ke klinik atau dokter terdekat tidak harus dokter spesialis saraf. Sedangkan untuk pemulihan, disarankan datang ke rumah sakit yang dilengkapi fisioterapi.
Bell’s Palsy bukan Stroke! Meski disebabkan ganguan pada saraf, bell’s palsy bukan stroke. Keduanya memang memiliki gejala yang mirip, tapi tindakan penanganan yang dilakukan berbeda.
Terapi untuk Bell’s Palsy :
- obat anti-radang (ada yang bilang tidak terlalu efektif jika serangan sudah lebih dari 5 hari)
- obat anti-virus (masih kontroversi mengenai perlu-tidaknya pemberian)
- latihan fasial (senyum, mengunyah, pemberian kompres)
- fisioterapi
Artikel ditulis oleh dr. Dwi Hany Febrina S, Sp.N (Spesialis Saraf RS EMC Cikarang).